Pages

Thursday, February 19, 2015

Janji Hati

Pengarang: Elvira Natali
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2013
Halaman; 279

Amanda Tavari adalah seorang remaja yang memiliki hampir segalanya: keluarga yang menyayanginya dan cukup berada, teman-teman yang baik, dan juga prestasinya sebagai atlet voli andalan sekolah. Namun dalam hatinya, ia menyimpan satu kehilangan besar; kakak tiri sekaligus cinta pertamanya, Revan Tavari, meninggal dalam satu kecelakaan tabrak lari.

Ketika pingsan akibat kehujanan, Amanda ditolong seorang pemuda bernama Leo. Pemuda itu sangat baik terhadapnya dan kemudian mereka menjadi dekat. Tak lama kemudian, dalam satu insiden, Amanda melukai hidung teman sekolahnya, Dava, yang ternyata adalah adik tiri Leo. Tidak seperti Leo, Dava sangat kasar dan seenaknya. Agar Amanda mendapatkan maaf dari Dava, Amanda diminta Dava menjadi pembantu di rumahnya dan bertugas membersihkan ruang musik Dava setiap hari. Demi kata maaf, Amanda pun menyanggupinya.

Interaksi Amanda dengan kakak beradik Leo dan Dava membuat Amanda perlahan-lahan mampu melupakan kepedihannya. Namun, apa yang terjadi begitu Amanda mengetahui bahwa ternyata kakak beradik itu memiliki rahasia kelam yang berhubungan dengan Revan?

*******

Janji Hati merupakan novel yang saya temukan secara tidak sengaja ketika saya pada suatu hari ingin membaca novel remaja yang ditulis oleh penulis remaja juga. Entah kenapa, tiba-tiba saya rindu baca novel semacam Dealova dan Eiffel I'm In Love, novel-novel remaja yang betul-betul mampu meneriakkan suara remaja karena ditulis oleh penulis yang masih remaja juga. Saya ingin membaca novel yang tidak terlalu berat menggurui dan lebih banyak berbagi keasyikan menjadi remaja. Novel ini langsung saya pilih begitu saya membaca endorsement-nya, yang datang dari nama-nama terkenal Merry Riana dan Rudy Soedjarwo. Wow! Bahkan mereka pun berpikir novel ini bagus. Dan eksepektasi saya makin tinggi setelah tahu kalau novel ini sedang dalam proses difilmkan (dan sekarang filmnya sudah keluar).

Setelah saya selesai membaca novel ini, surprisingly, saya malah kecewa. Bukan karena masalah umur sehingga kisah novel ini terasa terlalu kekanak-kanakan karena saya toh telah mematok ekspektasi saya sebelum saya memutuskan untuk beli buku ini (ingat: Dealova dan Eiffel I'm In Love. Sama-sama tahu deh yaa ceritanya kayak gimana. hehe). Masalahnya terletak pada karakter tokoh-tokohnya yang saya gagal pahami dan plotnya yang kurang berhasil menjalin satu cerita secara utuh.

Untuk karakter tokoh-tokohnya, sejujurnya saya tidak bisa mengenal bagaimana sebenarnya seorang Amanda Tavari itu, bagaimana Leo Ferdinan, dan bagaimana Dava Argianta (Iya, saya tulis nama lengkap mereka karena cuma itu yang saya tangkap dari ketiga orang ini!). Amanda kadang terlihat manja, namun sepertinya penulis menginginkan dia menjadi sosok yang mandiri dan kuat juga. Tapi buat saya, yang lebih terasa malah kemacetan otaknya. Contoh aja nih, di adegan pembuka novel, di mana Amanda terjebak hujan di lapangan dekat rumahnya. DEKAT rumahnya. Ia bingung bagaimana caranya pulang. Mau minta jemput sopir, sopirnya sudah izin mau mengantar istri ke dokter. Mau pinjam payung, menurutnya nggak guna karena dengan hujan sederas itu badannya akan basah juga. Mau nebeng teman, nggak mau ngerepotin. Keputusan finalnya: lari menerjang hujan aja deh, toh rumahnya nggak jauh. Akhirnya: dia pingsan di tengah jalan. Yakalidaaaahh... Mending nebeng teman aja kali, Maaan!!! Itu baru satu contoh, ke belakang-belakang sih ada lagi, tapi mending baca sendiri aja yaa.. Lalu karakter Leo. Orang ini galau melulu. Dia suka sama Amanda tapi nggak jelas sedalam apa, dan dia juga nggak berani menyatakan perasaannya lebih jauh karena terbentur persoalan masa lalu. Kasihan juga dia, serbasalah dan akhirnya cuma bisa makan hati. Naaah... yang hebat adalah si Dava. Saya nggak tahu bagaimana dia membangun reputasinya sampai orang-orang bisa berpikir kalau dia itu cowok psycho yang kalau dikecewakan sedikit aja bisa ngebikin orang yang mengecewakannya masuk rumah sakit jiwa. Sampai seorang Amanda yang katanya punya kekayaan setara dengan keluarga Dava sehingga gak mau disamakan dengan pembantu rela menjalani tugas bersih-bersih di ruang musik Dava setiap hari sepulang sekolah. Apakah Dava mungkin seorang ex-debt collector? BISA JADI!!! *a la Eat Bulaga* Etapi kok dia juga jago main biola klasik dan hobi ke panti asuhan sih?

Mengenai plotnya, sebenarnya saya cukup mengerti garis besarnya dan berpotensi jadi kisah yang menarik dan emosional, tapi eksekusinya yang saya sering nggak ngerti. Kapan sih tepatnya Amanda dan Dava saling jatuh cinta? Lalu kapan Amanda juga mulai merasa cinta kepada Leo? Lalu sedalam apa perasaan cintanya kepada Revan? Saya bingung. Dan sepanjang cerita, saya nggak mendapatkan momen "Aaawww...." sama sekali. Tahu kan maksudnya? Momen di mana ketika kamu baca  kisah cinta yang manis lalu kamu pengen berucap, "Aaawww.... so sweet..." ya begitulah kira-kira. Lalu konflik masa lalu Leo juga sebenarnya berpotensi digali lebih dalam dan membuat pembaca emosional dengan konflik tersebut tapi sayangnya malah diselesaikan seperti itu saja. Yang paling hebat sih adegan pamungkasnya dong.... yang saya nggak bisa bilang karena pasti bakal ngebocorin ceritanya banget... tapi pokoknya... Ya sudahlah... *memutar bola mata*

Banyak banget pertanyaan muncul di otak saya setelah menamatkan buku ini (iya, saya tamat kok bacanya, biar berasa fair nulis resensi seperti ini...) tapi ya apa boleh buat, akhirnya kesimpulan saya (dipaksakan) mentok di: mungkin memang masalah umur. Mungkin pembaca di usia saya (berapa sih usia lo Na????) memang jauh lebih kritis dan kebanyakan bertanya sehingga tidak bisa lagi menikmati kisah romance ringan semacam ini. Mungkin Dealova dan Eiffel I'm In Love masih terasa bagus sampai sekarang karena dulu waktu saya membacanya pertama kali, usia saya memang masih remaja, dan kenangan akan kesan pertama itu yang terus melekat sampai sekarang.

Buat kamu, para pembaca berusia remaja, mungkin novel ini akan bisa kamu nikmati. Sekalian aja nonton filmnya di bioskop biar sensasinya makin terasa. Tapi kalau buat pembaca yang sudah masuk usia dewasa, saya sih nggak merekomendasikan. Bisa dicoba dengan resiko ditanggung sendiri :P


5 comments:

  1. Duh jadi penasaran sama adegan pamungkasnya, tp gak ada niatan baca bukunya :p Aku jg kalo krg suka buku teenlit mikirnya mgkn karena masalah umur. Tapi kadang2 bisa jg kok ketemu buku teenlit yg msh bisa aku suka :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nonton filmnya aja Stef. Harusnya sih sama spt bukunya krn yg main kan si Elvira Natali juga. Hehe. Aku lebih cocok sama YA barat. Kayak Kody Keplinger, kan masih muda juga tuh, tapi ceritanya asyik.

      Delete
  2. jujur aku penasaran sama novel ini karena harus interview pemain filmnya buat artikelku. Which is pemainnya adalah si penulis novel ini. Jadi penasaran dong kenapa dia bisa main film juga. Sampai ke harus nonton buat liputan. Ampun deh satu bioskop heboh banget karena Aliando. Aku yang masuk bioskop ngintilin Ali cuma sempat nonton stengah jam akhir dan itu udah cukup bikin aku nyaris pingsan saking pusingnya karena film ini. Pusing di sini ya gitu deh. Enggak ngerti lagi sama ceritanya. Enggak ngerti lagi sama penonton yang nangis karena adegan pamungkasnya sedih banget padahal aku cengo, otaknya enggak bisa mikir kenapa si Dava bisa ..... *sensor*. Yah gitulah kak. Ditambah satu kalimat si Elvira pas aku interview dia yang bikin aku makin ilfil karena aku ngeliatnya dari sudut pandang penulis juga *malah curhat*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaaa!! gara-gara novel ini aku jadi ngeh kalo idola ABG saat ini tuh Aliando! Kayaknya banyak yang nonton cuma karena Aliandonya. hehehe. Ah saya sih teteeeppp, naksirnya sama Samuel Zylgwyn saja *ketawa harimau*

      Mau coba baca novelnya? Saya siap meminjamkan. malahan silakan kalo mau hehehe..

      Delete

What is your thought?