Thursday, November 6, 2014

Kancing yang Terlepas

Pengarang: Handry T.M.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2011
Halaman: 450

Siaw Giok Hong adalah primadona Orkes Cina Tjahaja Timoer yang terkenal di kawasan pecinan Semarang pada tahun 1960-an. Ia adalah seorang yatim piatu yang tidak jelas asal-usulnya, namun sejak kecil diasuh dan dididik oleh Tek Siang, lelaki tua pemilik Orkes Tjahaja Timoer. Bukan hanya itu, Siaw Giok Hong secara tidak resmi juga menjadi pendamping hidup Tek Siang.

Suatu hari, teman lama Tek Siang yang seorang pengusaha, The Oen Kiat, menonton pertunjukan Giok Hong dan ingin melamar Giok Hong sebagai istri mudanya. Sayang, Oen Kiat keburu meninggal dunia sebelum mewujudkan keinginannya. Istri Oen Kiat kemudian ingin menjadikan Giok Hong, yang ia tahu sangat dikagumi si mendiang suami, istri anaknya, Zeng. Giok Hong pun diculik dan dibawa ke rumah rahasia keluarga The. Sayang, ternyata istri dan anak Oen Kiat pun sedang menjadi sasaran keluarga Oen Kiat lainnya, yang menginginkan harta peninggalan Oen Kiat. Kekacauan kembali terjadi dan Giok Hong pun menghilang bersama dengan habisnya anggota keluarga Oen Kiat.

Setahun kemudian, Orkes Tjahaja Timoer sudah tutup. Tek Siang sakit-sakitan merindukan Giok Hong. Tiba-tiba muncul seorang wanita yang mengaku bernama Boenga Lily dan melamar menjadi penyanyi di rumah makan Mei Wei milik Tan Khong Gie. Kehadiran Boenga Lily dan Timoer Laoet, sang pemain musik, segera menghidupkan kembali kehidupan warga pecinan. Boenga Lily kemudian mengaku adalah Giok Hong yang telah lama hilang. Tan berhasrat memperistri Lily, namun Tek Siang bertekad mendapatkan Lily kembali. Apa yang sebenarnya terjadi pada Giok Hong? Bagaimana mungkin Lily dan Giok Hong adalah orang yang sama sedangkan wajah dan suara keduanya sama sekali berbeda?


-----------------------------

Kancing yang Terlepas sungguh mengingatkan saya dengan film-film mandarin dengan setting klub malam Shanghai jaman dulu seperti Blood Brothers-nya Daniel Wu dan Shu Qi, Kabut Asmara-nya Zhao Wei, dan berbagai film lainnya. Indah, menggoda, tapi juga penuh intrik dan bahaya. Suka! Dan lebih suka lagi, karena setting cerita Kancing yang Terlepas adalah di negeri sendiri, dengan tokoh-tokoh warga keturunan Tionghoa yang tinggal di pecinan Semarang. Ini agak mengingatkan saya dengan filmnya Titiek Puspa, Apanya Dong, yang juga bersetting di pecinan, walau dari segi jalan cerita tentu sangat jauh berbeda. Menurut saya, cerita-cerita semacam ini--yang lebih menitikberatkan pada budaya dan keseharian hidup suku bangsa yang ada di Indonesia (termasuk Tionghoa)--masih belum cukup banyak dan perlu dieksplor lagi.

Dari segi penggambaran setting, novel ini patut diacungi jempol. Cara Handry T.M. menuliskan tata cara keseharian hidup masyarakat keturunan Tionghoa, pandangan mereka terhadap leluhur, dewa-dewa dan kepercayaan mereka, serta hidup yang mengutamakan bisnis dan perhitungan untung-rugi menurut saya sangat luwes dan berhasil menghidupkan para tokohnya dengan baik.

Sayangnya, dari segi cerita, saya merasa kalau cerita Kancing yang Terlepas ini kurang fokus. Mungkin karena sebelumnya ditulis dalam bentuk cerita bersambung. Ya, kisah ini memang pernah dimuat di Harian Semarang periode 22 November 2009-24 Juni 2010 dengan judul Giok Hong. Di awal-awal cerita, hubungan Giok Hong-Tek Siang yang bisa dibilang aneh--di satu sisi mereka adalah sepasang kekasih namun di sisi lain juga merupakan guru dan murid, atasan dan bawahan--menjanjikan cerita yang menarik. Begitu pula ketika Giok Hong kemudian menarik perhatian Oen Kiat. Sifat Giok Hong yang terlihat polos dari luar namun cenderung licik di dalam membuat saya bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan Giok Hong selanjutnya? Apakah Giok Hong akan terus setia pada Tek Siang atau bagaimana? Tetapi, begitu Giok Hong menjelma Boenga Lily, cerita mulai terasa aneh. Apa motif Giok Hong sebenarnya dengan berubah menjadi Boenga Lily tidak jelas. Memang di bagian akhir cerita terungkap apa yang terjadi pada Giok Hong dalam periode hilangnya, namun tujuan sebenarnya dia kembali lagi ke Gang Pinggir dan strateginya tidak dijelaskan. Dan semakin ke belakang, saya merasa ceritanya jadi tidak masuk akal. Seandainya penulis mau berbagi lebih banyak lagi tentang rahasia Giok Hong...

Memang, saya agak kecewa dengan plotnya dan ketidakjelasan ending-nya. Namun, saya cukup menikmati buku ini. Ya karena itu tadi, penggambaran suasana pecinan jaman dulunya, yang membuat saya bisa membayangkan berada di sana. Selain itu, gaya bertutur penulis juga cukup enak diikuti.

Buku ini bisa menjadi pilihan kamu yang ingin membaca historical fiction dalam negeri dan juga ingin mengenal lebih jauh kehidupan masyarakat keturunan Tionghoa negeri ini.

1 comment:

What is your thought?