Pengarang: Yuditha Hardini
Penerbit: Gagasmedia
Tahun terbit: 2014
Halaman: 237
Irene Ambarwati adalah seorang mak comblang dengan reputasi mengagumkan. Sejak pertama memulai karirnya, ia tidak pernah gagal menjodohkan kliennya. Semua berakhir bahagia. Ambar tidak percaya dengan cinta. Ia percaya kalau kunci dari kelanggengan suatu hubungan adalah pada kecocokan dua individu. Dan untuk mencocokkan dua individu, ia sangat percaya dengan kecanggihan aplikasi perjodohannya.
Sampai ia bertemu Raisa.
Raisa adalah klien yang membuat Ambar nyaris mengalami kegagalan pertamanya. Kenapa nyaris? Karena Ambar tidak akan melepaskan Raisa sampai kliennya itu mendapatkan jodoh. Ambar belum siap untuk gagal. Dua tahun berlalu, Raisa masih saja menolak pasangan yang disodorkan Ambar. Alasannya ada-ada saja: terlalu gombal, genit banget, kurang gentleman, napasnya bau, bahunya miring sebelah, kayaknya gay, sampai kurang agresif. Ambar yang nyaris putus asa kemudian mengerahkan usaha terakhirnya dengan memberikan cowok serbasempurna untuk Raisa: Doni Allan.
Ambar sendiri masih single, walau sebenarnya ia memendam rasa kepada seseorang. Bayu, rekan kerjanya yang kini sudah bertunangan dengan Ninda, hasil comblangan Ambar. Dulu, Ambar pernah menolak Bayu karena terlalu percaya pada aplikasi perjodohannya yang mengatakan kalau ia tidak cocok dengan Bayu. Demi membantu Bayu melupakan dirinya, Ambar malah menyodorkan Ninda kepada Bayu dan berhasil. Ketika menguntit kencan Raisa dengan Doni, tanpa disengaja, kedekatan Bayu dengan Ambar membuka kembali perasaan cinta lama di hati Ambar. Tapi, apakah etis seorang mak comblang jatuh cinta pada kliennya sendiri sehingga merusak hasil kerjanya?
Bagaimana kisah si Mak Comblang ini selanjutnya?
Lalu kenapa tadi saya menggunakan kata "sebenarnya"? Karena pada kenyataannya, menurut saya tema yang menarik itu kurang dieksplor. Potensi cerita yang asyik, menggigit, namun juga memiliki pesan moral yang sangat berharga itu akhirnya jatuh melempem karena kekurangfasihan penulis menggali karakter tokoh-tokohnya. Karakter Ambar, Raisa, dan Doni buat saya terlalu di permukaan. Hanya Bayu yang sedikit terlihat emosinya dan saya merasa cukup bisa mengerti apa yang ada di pikirannya. Sisanya... saya merasa kalau saya disetir pengarang untuk mengenal bagaimana sebenarnya seorang Ambar itu, bagaimana seorang Raisa itu... dan Doni?? Saya bahkan nggak merasa dia playboy sama sekali seperti yang diceritakan Ambar. Saya malah merasa Ambar ini begitu cepat dan dangkal menilai Doni. Dan konfliknya terasa kurang njelimet dengan penyelesaian yang terlalu mudah. Akhirnya, ketika saya menutup buku ini karena selesai membacanya, saya tidak merasakan koneksi apa-apa dengan cerita itu maupun dengan para tokohnya.
Satu lagi yang saya rasa kurang tepat adalah penggunaan POV 3 untuk cerita ini. Akan lebih mudah dinikmati apabila Ambarlah yang menjadi narator cerita, menceritakan segala sesuatu dari pikiran dan perasaannya, ketimbang orang ketiga di luar cerita yang harus serba tahu. Mungkin kisah ini bisa menjadi lebih hidup. Selain itu, juga memberi ruang untuk hanya melihat karakter para tokoh dari satu sisi saja, karena toh yang melihat dan menilai hanya Ambar.
Nilai plus dari novel ini, menurut saya adalah cover-nya. Ya, cover. Stock photo dengan tulisan tipe handwriting untuk judul Take Me to Your Heart menurut saya sangat menarik mata (saya) dan membuat penasaran. Memang sepertinya Gagasmedia sedang senang tipe cover seperti ini--yang jelas saya sukai karena jadi seperti cover novel-novel luar yang saya suka. Selain itu, penulisannya juga cukup rapi dan tidak banyak kesalahan tulis.
Sebagai penutup, saya tidak bilang ini novel yang buruk. Hanya biasa saja. Dan entah mana yang lebih buruk antara novel yang buruk atau novel biasa saja, karena yang buruk biasanya lebih berkesan dan dibicarakan dan yang biasa saja malah mudah terlupakan, terutama di tengah menjamurnya novel bertema sejenis. Tapi jika teman-teman ingin mencoba baca, silakan lhoo... Mungkin meninggalkan kesan lebih dalam daripada ke saya.
bagus ka.
ReplyDeletesusu kental manis