Suara rintik yang menimpa genting membuat Wira membuka mata. Ia menatap nyalang langit-langit berwarna gading yang menjadi tameng antara dirinya dengan hujan. Dengan segera, ia kembali memejamkan mata, lalu menutupinya dengan punggung tangan.Sering kali, Wira berharap bisa tinggal di suatu tempat di mana hujan tidak pernah turun.
Wirawan Gunadi pindah ke Malang dengan sebuah trauma. Sembilan bulan sebelum pindah ke rumah neneknya dan berkuliah Teknik Sipil di Universitas Brawijaya, ia membunuh sahabatnya. Faiz meninggal di arena pertandingan taekwondo setelah tendangan Wira bersarang di kepala Faiz. Saat itu, hujan turun lebat dan itu adalah kali terakhir Wira melihat sahabatnya.
Wira menutup diri; ia merasa tidak pantas berteman dengan siapa pun lagi. Ia selalu menolak ajakan bermain futsal oleh teman-temannya. Ia juga melupakan taekwondo. Namun demikian, ketika ia bertemu Kayla dan secara tak sengaja malah mengurus anak kucing bersama, masa lalunya yang kelam yang sudah ia kubur dalam-dalam kembali menuntut untuk muncul kembali ke permukaan. Kayla adalah taekwondoin, dan tempat merawat Sarang, si anak kucing, adalah di markas UKM taekwondo Universitas Brawijaya. Kayla, yang tahu bahwa Wira juga seorang taekwondoin, mengajak Wira untuk berlatih kembali, bahkan setelah Kayla akhirnya mengetahui masa lalu Wira. Namun, bisakah Wira kembali ke olahraga yang sangat dicintainya itu dan mewujudkan impiannya sejak dulu, meski tahu bahwa Faiz, sahabatnya, telah kehilangan impian yang sama?
Mungkin, seharusnya, Wira tidak pernah menyambut uluran tangan itu. Atau mungkin, seharusnya, Wira tidak pernah berusaha melupakan Faiz. Sahabatnya itu tidak punya salah yang membuatnya harus dilupakan. Wira seharusnya mengingatnya, mengingat bagaimana sahabatnya itu tidak bisa lagi berdiri di matras ini sepertinya, mengingat kalau dirinyalah yang membuatnya begitu.