Monday, September 14, 2015

Critical Eleven



Pengarang: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2015
Halaman: 339


Tanya Laetitia Baskoro bertemu Aldebaran Risjad dalam penerbangan ke Sydney, Australia. Mereka mengobrol di pesawat lalu berpisah. Anya menonton konser Coldplay sedangkan Ale langsung terbang ke rig di teluk Meksiko untuk bekerja. Sebulan kemudian, Ale yang sedang di Jakarta meminta Anya menemaninya makan ketoprak Ciragil favorit Ale. Seminggu kemudian mereka berpacaran, setahun kemudian mereka menikah.

Happy ending?
Happy beginning lebih tepatnya.

Karena cerita justru baru dimulai dari sana. Kini, Anya dan Ale tak ubahnya seperti dua orang asing yang tinggal seatap. Masih terikat tali pernikahan, namun tak lagi saling sapa. Anya dan Ale pisah kamar; Anya menjadi dingin, sedangkan Ale tak tahu harus berbuat apa terhadap istrinya itu. Semua disebabkan oleh kejadian enam bulan sebelumnya. Satu kehilangan yang begitu membekas; satu kesalahan yang berbuntut panjang.

Masih adakah happy ending untuk Anya dan Ale?


*****

Critical Eleven, secara ide cerita, sebenarnya bukan barang baru untuk Ika Natassa. Novel-novelnya terdahulu, A Very Yuppy Wedding dan serial Divortiare, sebenarnya sudah mengangkat tema yang sama: konflik dalam pernikahan. Tokoh-tokohnya pun masih memiliki tipe yang sama: pasangan muda yang sudah mapan bahkan bisa dibilang punya karir gemilang dan hidup di lingkungan pergaulan yang glamor yang mungkin untuk banyak orang terasa seperti mimpi--Yep, memberikan hadiah arloji seharga empat ribu dollar ke pasangan itu bagi saya memang masih sebatas mimpi. Tapi ada yang berbeda dari Critical Eleven yang membuatnya berbeda dari karya-karya Ika Natassa sebelumnya, yaitu pendekatan psikologis terhadap para tokoh.

Di tangan pengarang lain, bisa jadi kisah dengan tema seperti ini akan jauh dari istimewa. Di tangan pengarang lain, mungkin pembaca akan membenci Anya setengah mati dan menganggapnya drama-queen dan Ale muncul sebagai suami supersetia yang dizolimi (halah!). Tapi, di tangan Ika Natassa, pembaca tidak akan berada di belakang salah satunya dan akan simpati pada apa yang terjadi pada keduanya. Yah, setidaknya, saya sih merasa begitu.

Menggunakan alur maju-mundur, Ika mengupas masa lalu hubungan Ale dan Anya sebelum semuanya menjadi seperti saat ini. Mulai dari perkenalan mereka, momen-momen manis kehidupan pacaran dan pernikahan mereka, hubungan dengan orangtua dan mertua serta keluarga besar keduanya. Pembaca diajak Ika untuk mengenal Ale dan Anya melalui pemikiran mereka, berdasarkan apa yang pernah mereka baca dan tonton, interaksi mereka dengan orang sekitar, dan pengalaman terhadap satu sama lain. Dengan demikian, konflik yang mereka alami dan juga cara mereka meresponnya terasa nyata dan bisa dimengerti oleh pembaca. Dan sangat mungkin sekali pembaca akan turut terhanyut dalam emosi keduanya.

Sebenarnya banyak yang saya bisa ceritakan mengenai betapa saya sangat menikmati membaca novel ini dan pesan yang terkandung di dalamnya sungguh sangat applicable. Tapi susah dengan tidak membocorkan jalan ceritanya. Jadi mending kalian baca sendiri aja ya. Tapi ada satu bagian yang sangat saya suka dan saya rasa memang itulah arti menikah yang sebenarnya, baik dari pihak suami maupun istri.

Malam ini aku teringat satu Minggu sore ketika Ale menemaniku menonton salah satu film romantic comedy di rumah, dan dengan menemani maksudnya dia duduk di sebelahku sambil membaca buku dan mengunyah kacang atom favoritnya. Ketika film selesai, Ale tiba-tiba nyeletuk, "You know, I never get all these men in movies who say 'I would die for you' bullshit."

"Why? It's romantic, isn't it?"

"Justru bodoh dan egois, Nya," Ale mengucapkan ini sambil tetap berkutat dengan sebungkus kacang atomnya. "Kalau memang benar-benar sayang dan cinta sama perempuan, jangan bilang rela mati buat dia. Justru harusnya kuat hidup untuk dia. Rela mati sih gampang, dan bego. Misalnya demi menyelamatkan istri lo, lo rela mati. Lo merasa udah jadi pahlawan kalau udah begitu, egois itu. Setelah lo mati, yang melindungi dan menyayangi istri lo lantas siapa? Lo meninggal dan istri menangisi lo karena nggak ada lo lagi, itu yang dibilang pahlawan? Seharusnya kalo lo memang bener-bener sayang, lo rela mengorbankan apa aja demi istri lo, tapi lo juga harus berjuang supaya lo tetap hidup dan tetap ada buat dia. Itu baru bener."
Sangat saya rekomendasikan untuk dibaca, terutama untuk yang akan menikah dan sudah menikah.

No comments:

Post a Comment

What is your thought?