Pengarang: Winna Efendi
Penerbit: Gagasmedia
Tahun terbit: 2014
Halaman: 356
Lulu adalah seorang putri di negeri dongeng. Setidaknya, itulah yang ia rasakan di rumah. Hidup di bagian teratas rumah kayu ciptaan ayahnya yang seorang tukang kayu/arsitek dan dibesarkan dalam dongeng-dongeng dunia yang memikat seperti Beauty and the Beast, The Little Mermaid, dan sebagainya. Sayang, kehidupan di sekolah tidak seindah di rumah. Sahabat baiknya, Karin, tiba-tiba berubah dan berbalik memusuhinya. Karin yang dulu sama-sama kutu buku, kini menjelma cantik, merebut pacar Lulu, Ezra, dan selalu menjahati Lulu. Anak-anak lain juga gemar mengerjai Lulu, menyebutnya Lucifer atau Penyihir. Di sekolah, Lulu lebih senang menyendiri. Hanya pada ayahnyalah Lulu mendapatkan kekuatan dan kehangatan, untuk melupakan segala kejadian buruk di sekolah.
Suatu hari, ayah Lulu jatuh sakit. Kanker hati. Hari-hari Lulu kemudian diwarnai oleh kunjungan ke rumah sakit. Kecemasan membayangi keluarga Lulu. Ayahnya yang dulu selalu menjadi pelindungnya, memberikan kehangatan lewat pelukan dan cerita-ceritanya, kini justru membutuhkan perhatian dari Lulu dan ibunya. Lulu dituntut untuk kuat demi ayahnya.
Di rumah sakit, Lulu bertemu dengan seorang anak lelaki botak, kurus, namun sangat ceria dan memiliki semangat hidup tinggi. Eli namanya. Eli menderita tumor otak stadium dini. Dengan cepat, keduanya menjadi akrab. Eli mengajak Lulu menjelajahi rumah sakit dan berkenalan dengan anak-anak penderita kanker. Eli gemar membuat bucket list, atau daftar keinginan untuk dipenuhi suatu hari nanti. Eli juga gemar mengabadikan semangat hidup orang-orang di sekitarnya melalui foto polaroid. Lulu menemukan kekuatan baru melalui diri Eli, kekuatan untuk menghadapi cobaan yang sedang menimpanya.
Hari-hari berlalu. Keadaan ayah memburuk. Harapan semakin menipis. Lulu semakin ketakutan. Dan Lulu juga takut kalau suatu hari Eli, yang perlahan-lahan semakin disayanginya, juga akan meninggalkannya. Tidak adakah kebahagiaan untuk Lulu?
Happily Ever After menurut saya merupakan kisah remaja yang komplet dan dapat dinikmati oleh pembaca dari segala usia. Akhir-akhir ini, saya kembali membaca beberapa teenlit dalam negeri dan berakhir dengan merasa kurang nyambung dengan ceritanya. Memang sih, secara alur ceritanya tidak aneh, hanya saja untuk selera saya terasa terlalu ringan dan penyelesaian masalahnya terasa terlalu menggampangkan atau terlalu menceramahi. Dan ketika saya browsing pendapat teman-teman di Goodreads untuk beberapa teenlit, saya juga menemukan banyak teman yang sudah tidak berusia remaja berpendapat mirip dengan saya.
Teenlit Indonesia, menurut saya, sangat berbeda dengan teenlit luar negeri terutama Amerika Serikat, yang disebut young adult, yang banyak saya baca dan merupakan bacaan favorit saya. Ketika teenlit Indonesia kebanyakan lebih berfokus pada konflik yang menimpa tokoh utamanya, seperti percintaan, perundungan, narkoba, tawuran, young adult luar negeri lebih berfokus pada perkembangan pemikiran dan emosi tokoh utamanya dalam menghadapi konflik yang kurang lebih sama. Jadi, ketika membaca novel-novel young adult, bahkan orang dewasa pun akan bisa menyelami dan, pada akhirnya, mengerti cara berpikir si tokoh yang masih berusia remaja. Beda dengan teenlit Indonesia yang mungkin hanya bisa dimengerti dan menarik untuk pembaca berusia remaja karena memang konfliknya "mereka banget" sedangkan untuk pembaca di atas usia itu, konfliknya terasa "sudah basi".
Nah, kenapa saya jadi membahas perbandingan teenlit Indonesia dengan young adult luar negeri? Karena dalam novel Happily Ever After ini, Winna Efendi menuliskan sebuah novel young adult. Winna mengeksplor jalan pikiran Lulu dan juga segala ketakutan, kesedihan, dan kemarahan terpendam Lulu atas apa yang terjadi dalam hidupnya. Hal ini sangat sulit, mengingat Lulu merupakan pribadi yang introvert dan kurang suka mengekspresikan perasaannya. Namun, lewat media dongeng yang ditulis Lulu, Winna berhasil menggambarkan emosi Lulu; bagaimana ketakutan Lulu menghadapi kemungkinan kepergian ayahnya, tempatnya selama ini mencari ketenangan dan kekuatan sehingga ia bisa cuek menghadapi perundungan yang ia hadapi di sekolah.
Rasa ketakutan akan kehilangan orang yang disayangi, terlebih jika orang itu adalah orang yang dapat membuatnya merasa aman setelah apa yang harus ia lalui di bagian lain hidupnya, sebenarnya merupakan hal yang dirasakan oleh setiap manusia. Dan bukan hanya anak-anak dan remaja saja yang mengalami kesulitan berpisah dengan orang yang ia sayangi. Manusia dewasa juga. Melalui Lulu dan kisah khas remajanya, sebenarnya pesan bahwa di balik kehilangan maka selalu ada harapan untuk hadirnya sesuatu yang baru yang lebih indah bersifat universal dan dapat diaplikasikan ke siapa saja. Maka saya tak akan heran jika tak lama lagi--bahkan mungkin sudah--akan ada pembaca dewasa yang menyukai novel ini bahkan turut larut dalam emosi.
Alur cerita ini cukup lambat dan di beberapa bab pertama saya hampir menyerah, namun setelah saya baca sampai tamat, hal ini tidak terasa seperti masalah lagi. Saran saya, buat pembaca yang merasa bosan di halaman-halaman awal, teruskan saja bacanya. Semakin ke belakang, kebosanan itu akan hilang kok :)
Adapun hal yang menurut saya kurang--atau mungkin justru kebablasan?--adalah mengenai setting cerita ini. Cerita ini sebenarnya berlangsung di Jakarta, dan sekolah Lulu adalah sekolah biasa yang bahkan bisa dibilang kurang bagus secara fisik. Namun, sepanjang cerita, saya merasa Lulu seperti hidup di luar negeri. Pertama, sekolah Lulu. Siswa-siswa sekolah Lulu boleh mengenakan make up dan mengecat rambut di sekolah. Lulu dikenal sebagai gadis gothic karena eyeliner tebalnya, dan hal ini membuatnya dijauhi. Perundungan yang bersifat merusak properti sekolah tidak ketahuan oleh guru dan tidak ditindak. Apakah hal ini dimungkinkan di sekolah biasa di Jakarta? Kedua, jenis makanan yang disebut selurunya adalah makanan luar negeri. Ketiga, cerita dongeng yang diceritakan seluruhnya cerita luar negeri. Keempat, lagu Ezra: "rambutmu sewarna daun mapel, kau gadis musim gugurku". Daun mapel? Musim gugur? Di Jakarta? Rasa Jakarta novel ini sangat kurang. Rasanya akan lebih enak jika Winna Efendi mengubah setting cerita menjadi di Amerika atau di negara lain, seperti Tomodachi yang mengambil setting Jepang.
Sebagai penutup, mengabaikan masalah setting, menurut saya kisah novel ini sangat manis dan bisa menguatkan pembacanya. Tidak ada salahnya dipilih sebagai bacaan pertama di awal tahun ini. Mungkin setelah baca buku ini, kamu mau ikutan membuat Bucket List :)
Aku jg pas baca di awal ngerasa lambat alurnya tp semakin ke belakang tmbh bagus :D dan bener juga sih soal setting-nya yang emg jadi terasa kebarat2an XD
ReplyDeleteKalau dibilang alurnya lambat aku setuju, tapi kayaknya tertolong dengan gaya bahasa Winna yang rapih, jadinya tetep baca ampe akhir. Yang menurutku bikin agak bosen itu justru penjelasan tentang penyakit ayahnya dan metode pengobatannya yang kadang terlalu panjang, jadi kayak textbook. Hehehe, ceritanya bagus tapi gak memorable, sekarang aja udah lupa endingnya apaan :D
ReplyDeletemantap riviewnya :D
ReplyDeleteDanisa Butter Cookies