Pengarang: Adhitya Mulya
Penerbit: Gagasmeddia
Tahun Terbit: 2014
Halaman: 277
Pak Gunawan telah meninggal pada akhir tahun 1992. Namun demikian, Pak Gunawan tetap menginginkan agar dirinya tetap dapat berguna bagi keluarganya, terutama kedua anaknya yang masih kecil, bahkan setelah kematiannya. Setahun sebelum kematiannya, ketika menyadari penyakit kankernya sudah semakin parah dan hidupnya tak lama lagi, Pak Gunawan dengan dibantu istrinya membuat rekaman yang berisi ajaran-ajaran penting tentang kehidupan untuk ditonton kedua anaknya, Satya dan Cakra. Setiap Sabtu sore, Ibu Itje mengajak kedua anaknya menonton rekaman Bapak: Sabtu Bersama Bapak.
Di tahun 2016, kedua anak Pak Gunawan, Satya dan Cakra, telah dewasa dan menjalani kehidupan mereka masing-masing. Satya kini bekerja di kilang minyak lepas pantai dan tinggal di Denmark bersama istri dan ketiga anaknya. Ia adalah sosok bapak yang perfeksionis dan keras. Ketiga anaknya takut kepadanya, dan istrinya selalu diprotesnya. Suatu hari, sang istri mengirim e-mail yang mengatakan agar Satya tidak usah pulang ke rumah. Cakra kini sudah menjadi seorang Deputy Director Divisi Micro Finance sebuah bank. Di umur 30 tahun, ia sudah mapan namun belum memiliki pendamping. Ia jomblo yang kurang percaya diri. Ketika berhadapan dengan wanita yang ia sukai, ia menjadi gagap.
Kisah Ibu Itje lain lagi. Setelah kepergian Pak Gunawan, ia menjalankan usaha warung yang sukses menjadi restoran. Hidupnya bahagia, terlebih melihat kesuksesan anak-anaknya. Namun, kini penyakit kanker menggerogotinya. Ia tak mau membuat anak-anaknya cemas, terutama Cakra yang masih mencari jodoh. Namun, ia juga takut waktunya tidak cukup untuk melihat Cakra bahagia.
Di tengah permasalahan yang dihadapi masing-masing, baik Satya, Cakra, dan Bu Itje kembali memutar video Bapak. Ajaran-ajaran Bapak membantu mereka untuk melewati kesulitan hidup dan berpikir dengan bijaksana.
Menjadi orang tua merupakan anugerah yang besar. Namun demikian, bersama dengan anugerah itu, datang juga tanggung jawab yang besar. Bila bicara tentang peran orangtua, biasanya kita sebagai masyarakat Indonesia, lebih menghargai peran ibu ketimbang ayah. Mungkin itu sebabnya di Indonesia hanya hari ibu yang dirayakan, tidak ada hari ayah. Memang sih, sebagai seorang anak, tentu kita akan lebih dekat dengan ibu ketimbang ayah. Ayah bekerja mencari uang sementara ibu yang merawat kita dan mendidik kita di rumah. Walau kini banyak juga ibu yang bekerja, tetap saja pada akhirnya jika ada keadaan mendesak yang mengharuskan kedua orang tua memilih, biasanya ibu yang akan mengorbankan pekerjaannya terlebih dahulu untuk anak. Namun demikian, kita tidak bisa mengatakan kalau peran ayah di dalam keluarga lebih kecil dari ibu. Malah bisa dikatakan sebenarnya peran mereka seimbang, hanya saja dalam bentuk yang berbeda.
Di buku Sabtu Bersama Bapak, Adhitya Mulya menunjukkan bahwa peran seorang ayah dalam sebuah keluarga sangat penting. Bukan saja untuk menjaga stabilitas ekonomi keluarganya dan menjamin kelangsungan hidup anak-anaknya sampai dewasa dan dapat menjalani hidup sendiri, seorang ayah juga memberikan teladan dan membentuk pribadi anak-anak sedari dini. Pak Gunawan, sebagaimana diceritakan oleh Adhitya Mulya, adalah sosok ayah yang berpikiran jauh ke depan. Perencanaannya terhadap keluarga sangat baik; ia sangat menyayangi dan menghargai setiap anggota keluarganya; ia juga bijaksana. Satu ketidaksempurnaan Pak Gunawan hanyalah bahwa ia tidak berumur panjang dan ia tidak memiliki cukup waktu untuk memastikan anak-anaknya akan tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, lewat video, ia mengakali ketidaksempurnaannya itu sehingga anak-anaknya dapat tetap tumbuh baik sesuai yang dicita-citakannya.
Pertumbuhan anak dan kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup seseorang bukanlah hal yang dapat diprediksi. Begitu juga dengan perjalanan hidup Bu Itje, Satya, dan Cakra. Namun demikian, video Bapak akhirnya tetap berhasil menjadi pegangan hidup mereka dan membuat mereka kembali mengingat arti menjadi keluarga.
Sebuah novel yang sangat bagus, menurut saya. Novel ini kembali mengingatkan pembacanya akan arti sebuah keluarga dan peran masing-masing anggotanya yang tentu tidak bisa dianggap remeh. Baik bapak maupun ibu keduanya memiliki peran penting di dalam sebuah keluarga, terutama dalam membentuk kepribadian anak. Bagi pembaca yang telah berstatus sebagai orangtua, buku ini kembali mengingatkan tanggung jawab yang dimiliki oleh orangtua dan juga agar mensyukuri keberadaan pasangannya. Bagi pembaca yang berstatus sebagai anak, buku ini menumbuhkan rasa hormat dan menghargai kepada orangtua; betapa di tengah segala kecerewetan, ketidakmasukakalan, dan kerempongan, semua orangtua pada dasarnya menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya.
Kekurangan buku ini, menurut saya, adalah pada eksplorasi karakternya. Selain karena ada kesalahan penghitungan umur para tokoh, buat saya humor-humor yang diselipkan Adhitya Mulya kurang tepat tempatnya dan agak "garing". Misalnya, mengenai candaan status Cakra yang masih jomblo walau sudah mapan. Memang ada yang lucu karena realistis, namun ada juga yang berlebihan. E-mail berantai di kantor adalah contoh yang menurut saya berlebihan. Untuk ukuran kantor secara umum saja, balas-membalas e-mail seperti itu sudah merupakan hal yang tidak etis, apalagi untuk perusahaan perbankan, di mana setiap e-mail biasanya di-screen secara ketat oleh bagian IT-nya. Lalu mengenai perubahan karakter Cakra yang mendadak dari seorang pemalu menjadi seorang yang gemar bercanda. Karakter Satya digambarkan dengan lebih baik menurut saya, karena terasa sekali keinginannya untuk mengubah perilakunya terhadap istri dan anaknya. Sayangnya, perilaku Satya sebelumnya kurang digali.
Akhir kata, buku ini sangat pas dibaca oleh siapa saja, walau tentu saya paling menyarankan untuk dibaca oleh para calon suami atau ayah. Apa yang dilakukan oleh Pak Gunawan pantas untuk diteladani.
No comments:
Post a Comment
What is your thought?