Pengarang: Afifah Afra
Penerbit: Afra Publishing
Tahun Terbit: 2012
Halaman: 632
1932
Setelah mengikuti kisah perjuangan Sekar di Belanda dan Everdine di Hindia Belanda dalam buku De Liefde, kali ini, pembaca dibawa mengikuti kisah Rangga Puruhita dalam pembuangannya di Ende, Nusa Tenggara Timur. Perjalanan Rangga tidaklah seenak Sekar yang mendapatkan fasilitas kelas satu. Sebaliknya, Rangga harus menderita selama di perjalanan, di tempat yang sempit di dalam kapal yang membawanya ke Ende. Selain itu, rumah yang ditempatinya pun sederhana, jauh dari keraton tempat tinggalnya dulu. Namun demikian, hasrat Rangga untuk menjadi orang yang berguna bagi orang sekitarnya masih sangat kuat. Di dekat tempat tinggalnya, tinggal seorang perempuan bernama Maria Dewi van Persie, anak angkat seorang pensiunan tentara Belanda yang kini menjadi pengajar anak-anak miskin, Johannes van Persie. Johannes van Persie menemukan Maria tertinggal di antara puing-puing bekas pembantaian pasukan Mari Longa di tahun 1907 dan memutuskan untuk merawatnya. Maria yang tumbuh menjadi wanita yang kuat, pintar, namun juga menyimpan semangat berkobar-kobar untuk memerdekakan rakyat Flores dari Belanda, bersama tunangannya sedari kecil, Mari Nusa.
Di lain pihak, terdapat Tan Sun Nio, seorang gadis berdarah Tionghoa yang pindah dari Semarang ke Ende setelah mendapatkan warisan usaha kakaknya, yang meninggal dunia tak lama setelah Tan Sun Nio sampai di Ende. Sang kakak ternyata juga mendapatkan banyak uang dari hasil berdagang candu. Terbakar amarah dan keinginan membalas dendam kematian kakaknya kepada Mari Nusa--yang diduga membunuh Tan Seng Hun--Tan Sun Nio memutuskan bekerja sama dengan bajak laut yang sangat ditakuti, Djanggo Da Silva. Sebagai ganti keamanan dalam berdagang dan informasi mengenai Mari Nusa, Tan Sun Nio bersediam membayar sejumlah besar uang kepada bajak laut Elang Timur milik Djanggo Da Silva. Selain berbisnis opium, Tan Sun Nio juga terkenal sebagai lintah darat karena kerap memeras nelayan miskin dengan memberikan pinjaman yang tak mungkin dapat dikembalikan oleh para nelayan miskin.
Pertemuan pertama Rangga dan Tan Sun Nio tidak meninggalkan kesan yang baik, karen Tan Sun Nio dengan licik ingin menjebak Rangga. Namun, siapa sangka jika berikutnya, ternyata takdir mereka saling bertautan. Rangga tak sengaja terseret dalam perjuangan kemerdekaan rakyat Flores pimpinan Mari Nusa. Tan Sun Nio ternyata dikhianati oleh orang kepercayaannya, yang ternyata juga menjadi bagian dari gerakan kemerdekaan yang menyeret Rangga. Dan perjuangan kemerdekaan itu sendiri, apa sesungguhnya motif dari masing-masing pejuang di dalamnya?
Jalinan konfliknya rumit namun disajikan dengan menarik sehingga tidak memberikan kesempatan untuk rasa bosan datang. Dari awal sampai akhir, pembaca sudah dibuat menebak-nebak: apa motif sebenarnya orang ini? Apakah dia jahat atau baik? Mengapa? Ada apa sebenarnya antara dia dengan dia? Sungguh membuat ketagihan sehingga rasanya ingin bisa menghabiskan bacaan ini dalam sekali duduk. Selain itu, karena melibatkan bajak laut, action-nya juga terasa.
Yang menarik juga, adalah kehausan Rangga akan agama Islam, agama yang dianutnya namun hingga kini ia masih belum mengerti benar karena didikan Eropanya. Di Ende, Rangga justru bertemu Haji Abdullah Arubusman yang bisa diajaknya berdiskusi dan mendalami agama Islam. Pemikiran Haji Abdullah mengenai agama Islam sangat menyejukkan hati dan sangat pas untuk dibaca di tengah kondisi Indonesia saat ini, di mana label beragama justru dipandang lebih penting dari esensi dan pengamalan ajaran agama itu sendiri. Tidak spesifik untuk agama Islam, namun juga untuk agama lainnya.
Kekurangan buku ini, masih sama dengan buku-buku sebelumnya, yaitu kesalahan penulisan. Seharusnya, buku ini diceritakan dari sudut pandang Rangga dan Tan Sun Nio bergantian. Namun, ada bagian di mana point of view berubah menjadi orang ketiga. Akan tetapi, penggunaan kembali ejaan baru (EYD) di Da Conspiracao menggantikan ejaan lama yang banyak muncul di De Liefde telah mengurangi jumlah typo error-- yang menurut saya cukup banyak di De Liefde.
Sebagai penutup, buku ini memberikan gambaran betapa perjuangan untuk menjadi negara yang merdeka sungguh bukan merupakan hal yang mudah. Musuh bukan saja bangsa Belanda yang telah menjajah ratusan tahun, namun bisa juga kawan seperjuangan sendiri, yang ternyata bisa saja memiliki agenda tersendiri dan tiba-tiba menusuk dari belakang. Membaca buku ini akan membuat pembaca semakin menghargai perjuangan para pahlawan Indonesia. Semoga juga, buku ke-4 akan segera terbit, sehingga rasa penasaran yang sudah menggantung dari buku kedua dapat segera terselesaikan.
No comments:
Post a Comment
What is your thought?