Pengarang: Anggun Prameswari
Penerbit: Gagasmedia
Tahun terbit: 2013
Halaman: 323
Serenade Senja, alias Seren, mempertanyakan posisinya sebagai kekasih Bara. Total 10 tahun lamanya ia telah menjalin hubungan dengan Bara, dengan 3 tahun terakhir dihabiskan dengan menjadi pacar rahasianya. Bara adalah cinta sejati Seren, sejak pertama kali Seren melihatnya dari balkon rumahnya. Siapa sangka, perasaannya segera bersambut. Sayang, tujuh tahun kemudian Bara terpaksa menikah dengan Anggi karena dijodohkan oleh orangtuanya. Bara tidak bisa menolak. Namun, Bara dan Seren tidak rela untuk berpisah; mereka saling mencintai. Maka, jadilah tiga tahun lamanya mereka kucing-kucingan di balik Anggi.
Sampai pada puncaknya di hari jadi Bara dan Seren ke-10, Seren menumpahkan frustrasinya: ia meminta Bara memilih antara dirinya dan Anggi. Sayang, Bara memilih Lily, anaknya dari Anggi. Bara ingin meninggalkan Anggi, namun tidak ingin menyakiti hati anak semata wayangnya itu.
Sejak saat itu, semua berubah. Kemesraan diam-diam di kantor antara Seren dan Bara tidak pernah terjadi lagi. Bara menjauh, Seren tak kuasa mendekat. Yang tertinggal hanya patah hati dan frustrasi. Sampai suatu hari, Seren mendapat tawaran untuk menjadi guru bahasa Inggris SMA, impiannya sejak dulu yang terlupakan karena Bara keburu menawarinya kerja di perusahaan yang sama dengan tempat Bara bekerja. Seren lalu mencoba mengambil kesempatan itu dan ia diterima. Ia pun pindah kerja menjadi guru.
Kehidupan menjadi guru anak-anak SMA tidaklah mudah. Ada satu muridnya yang pintar namun nakal, Kenzo, yang selalu mempersulitnya. Ada pula Elang, guru musik yang dingin namun selalu memperhatikannya. Perlahan-lahan, kehadiran Bara mulai memudar dalam hati Seren, berganti keceriaan baru yang menghiasi hari-harinya.
Namun, ketika Bara akhirnya kembali untuk memperjuangkan cinta mereka, mampukah Seren menolaknya? Ataukah ini pertanda, bahwa akhirnya Seren dapat memenangkan cintanya?
*****
Membaca novel ini sedikit banyak mengingatkan saya akan novel Good Fight karya Christian Simamora. Walau tentu jalan ceritanya berbeda dan gaya penulisannya juga berbeda, baik Good Fight maupun After Rain sama-sama mengangkat kisah si "wanita lain". Dan, sesebal-sebalnya saya dan sekuat-kuatnya saya menyebut orang yang mau-maunya menjadi orang ketiga itu sebagai "bodoh", saya tidak bisa membenci si tokoh utama ketika membaca baik Good Fight maupun After Rain, karena kedua penulis sama-sama berhasil membuat saya mengerti dan merasakan pikiran dan perasaan si orang ketiga dengan baik.
Apa yang membuat After Rain menjadi asyik dibaca adalah kemampuan Anggun Prameswari untuk menyampaikan emosi Seren dengan baik. Seren sebenarnya adalah pribadi yang mandiri dan pintar. Ia juga tahan banting. Namun, Bara benar-benar menghilangkan logikanya dan membuatnya patah. Saya nggak akan berkutat dengan pertanyaan mengapa Seren dan Bara begitu bodoh dan tidak bisa tegas mengambil keputusan, pun tidak akan membenci ceritanya di mana sebagian besar hanya menceritakan Seren yang berkubang di kebodohan yang itu-itu saja, karena memang, seperti lagunya Agnes Monica, Cinta kadang tak ada logika. Jadi yaa... begitulah. Saya hanya menikmati kisah "the aftermath" yang ditawarkan oleh Anggun dan sejujurnya saya merasa ia berhasil menghidupkan karakter Seren yang manusiawi. Ada keinginan untuk move on, tapi juga ada godaan untuk mengikuti cinta tak ada logikanya kepada Bara, dan juga gengsinya sebagai yang pertama hadir di hati Bara. Lewat kata-kata, Anggun Prameswari berhasil menghadirkan Seren yang galau, Seren yang marah, dan juga Seren yang akhirnya mendapatkan kembali kejernihan otaknya. Selain itu, sejarah perjalanan cinta Bara-Seren juga diceritakan sedikit demi sedikit dalam porsi yang cukup. Ada perkembangan yang terasa pada diri Seren sejak ia mulai mengenal Bara, berpacaran sembunyi-sembunyi, patah hati, sampai ke kondisinya saat ini, yang membuat saya bersimpati padanya.
Tentang Bara, saya pun tidak bisa membencinya, walau terkesan ia egois dan plinplan sekali. Alih-alih, saya merasakan keputusasaan dan ketidakberdayaannya. Posisinya membuatnya sulit untuk berbuat egois, namun juga menyebabkan ia menyakiti orang-orang di sekitarnya. Sayangnya, saya tidak mendapatkan closure akan keputusan dan nasib Bara di cerita ini.
Tokoh-tokoh pendukung di novel ini juga ditampilkan Anggun Prameswari dengan porsi yang pas. Saya menyukai Kean, sang sahabat yang benar-benar menyayangi Seren dan sabar sekali menghadapinya. Saya juga suka dengan orang-orang di sekolah Seren, walau Elang tidak menjadi favorit saya. Saya malah suka Kenzo yang lucu :)
Tentang Bara, saya pun tidak bisa membencinya, walau terkesan ia egois dan plinplan sekali. Alih-alih, saya merasakan keputusasaan dan ketidakberdayaannya. Posisinya membuatnya sulit untuk berbuat egois, namun juga menyebabkan ia menyakiti orang-orang di sekitarnya. Sayangnya, saya tidak mendapatkan closure akan keputusan dan nasib Bara di cerita ini.
Tokoh-tokoh pendukung di novel ini juga ditampilkan Anggun Prameswari dengan porsi yang pas. Saya menyukai Kean, sang sahabat yang benar-benar menyayangi Seren dan sabar sekali menghadapinya. Saya juga suka dengan orang-orang di sekolah Seren, walau Elang tidak menjadi favorit saya. Saya malah suka Kenzo yang lucu :)
Mungkin memang tepat jika novel ini ditujukan untuk pembaca yang susah move on, terlepas dari apakah mereka berada di posisi yang sama atau tidak dengan Seren. Lewat persoalan demi persoalan yang dihadapi Seren dan juga nasehat serta percakapan antara Seren dengan sahabatnya, Kean, dan teman sekantornya, Elang, Anggun Prameswari juga memberikan kekuatan kepada pembacanya. Tidak dengan cara menggurui, tapi melalui narasi yang mengalir dan susunan kalimat yang indah dan mudah dipahami.
Ini adalah karya ketiga Anggun Prameswari yang saya baca setelah cerpen-cerpennya, Semanis Gendis, dan Rumah untuk Pulang, yang terdapat di buku kumpulan cerpen Singgah. Terus terang, saya sangat menyukai tulisannya, namun saya lebih ingin untuk membaca tulisan-tulisan Anggun dalam bentuk novel seperti ini, karena Anggun memiliki kekuatan dalam karakterisasi, yang kurang terlihat kalau hanya membaca cerpen yang sangat singkat.
Oh iya, sedikit anekdot terkait novel ini... Di novel ini diceritakan kalau sebelum menjadi guru, Seren bekerja di perusahaan Korea dengan bos Korea, Mr. Choi, yang memiliki gaya bicara lucu. Saya cukup bisa mengerti karena saya sempat magang di salah satu bank Korea dulu, walau bos saya lebih suka berbicara dengan bahasa Inggris dan tidak pernah menggunakan tambahan "-nya" setiap menyebut nama. Ada kejadian lucu terkait bahasa Inggris bos saya yang lumayan "aneh" itu.
Pak Bos: "Nana~ Stick!!"
Saya: "Hah? Stick?" (dalam hati, apaan tuh?)
Pak Bos: "Stick!!"
Saya: *celingak-celinguk, nanya ke temen, apa maksud si Pak Bos*
Teman: *seperti dapet pencerahan, memberikan lem stick* "Ini!"
Saya: *kasih ke Pak Bos* "Ini, Mister."
Pak Bos: *dengan muka jutek khas orang Korea, menunjukkan lem stick yang baru saya kasih ke dia* "Hmmm... So, how do you call this in Indonesian?"
Saya: "Lem, Mister."
Pak Bos: "Lem?" *nunjuk ke lampu di atasnya (bahasa Inggris: lamp)*
Saya: "ITU LAMPUUU!!"
Lalu ada lagi...
Pak Bos: "Nanaaa~!!!! PANCI!!!!"
Saya: "Panci, Mister???"
Pak Bos: "Iyaa~ Panci!"
Saya: (dalam hati) "ini kan bank, bukan restoran, mana ada panci???"
Teman: (ngasih pembolong kertas ke saya)
Saya: *angkat pembolong kertas ke arah Pak Bos* "Ini Mister?"
Pak Bos: "Yaa~ Paliiii... (cepat)"
Pas saya sudah sampai di depannya, Pak Bos: "This is panci."
Saya: *baru ngeh* "Yaelaaah paper punch, Mister!!!"
Begitulah...
No comments:
Post a Comment
What is your thought?