Pengarang: Winna Efendi dan Yoana Dianika
Penerbit: Gagasmedia
Tahun terbit: 2012
Halaman: 302
Alice dan Catherine--atau Al dan Cat--adalah sepasang sahabat bertolak belakang sifat. Al adalah seorang anak pendiam, terlihat rapuh, dan selalu menjadi objek bullying di sekolahnya. Cat sebaliknya; berpendirian kuat dan tidak peduli penilaian orang, selalu melindungi Al. Mereka berjanji akan selalu bersama dan di waktu senggang hobi bermain Truth or Dare, di mana Al pasti memilih Truth dan Cat Dare.
Suatu hari, persahabatan mereka bertambah dengan hadirnya seorang siswa pertukaran pelajar dari Indonesia, Julian Danuwijaya. Dengan cepat, Al dan Cat menjadi akrab dengan Julian yang jago sulap, supel, dan entah mengapa mengerti cara menghadapi baik Al maupun Cat secara pribadi. Tanpa disadari, tumbuh perasaan suka kepada Julian dalam hati Al dan Cat.
Akankah Julian menyukai salah satu dari mereka dan memilih salah satu dari mereka? Apakah itu lebih penting dibanding menjaga persahabatan Al dan Cat yang terancam rusak selamanya?
^^^^^^^^^^^
Truth or Dare, sejujurnya, bukan novel yang meninggalkan kesan mendalam untuk saya--kecuali bete setelah selesai baca :P. Bahkan, di setengah cerita kedua, saya sudah ingin menutup bukunya saja. Masalahnya, baca buku ini tuh seperti membaca cerita yang sama dua kali, hanya berbeda tokoh utama. Oke kalau jalan ceritanya masih seru diikuti. Nah ini, jalan ceritanya bisa dibilang pasaran banget tanpa adanya keunikan sedikit pun baik di karakter para tokohnya, percakapannya, maupun twist-nya. Dan saya sih sok tahu aja nih, saya merasa plotnya dibuat oleh Winna Efendi dan Yoana Dianika hanya bertugas membuat cerita yang sinkron dari sudut pandang Cat dengan cerita Al yang ditulis Winna Efendi. Kenapa saya bisa berpendapat begitu? Karena ceritanya secara garis besar mirip dengan Refrain yang ditulis Winna Efendi.
Yang cukup menolong sehingga novel ini masih bisa saya baca, adalah gaya menulis Winna Efendi yang cantik dan mengalir. Dan mungkin memang kekuatan Winna Efendi ada di penggambaran latar belakang yang sangat detail. Cerita ini berlatar belakang kota kecil bernama Belfast, di Amerika Serikat (bukan Irlandia tempat Titanic dibuat) dan sepanjang cerita, saya sangat merasakan suasana di sana. Sedangkan untuk bagian Yoana Dianika, saya merasa dia mencoba mengikuti gaya menulis Winna. Saya tidak tahu gaya menulisnya karena belum pernah baca karya-karyanya, tapi begitulah yang saya rasa. Mungkin saja salah dan sebenarnya kedua penulis menulis bagian mereka di saat bersamaan. Tapi kenapa saya bisa berpikir begitu? Karena gaya bahasanya mirip, tapi janggal. Misalnya ini nih:
Bulan November suasana berubah. Udara hangat musim panas perlahan menghilang, tergantikan daun pohon maple yang berubah warna menjadi kuning kecokelatan, cokelat, bahkan merah tua.
Gimana nyambungnya udara dengan warna daun? Udara hangat berhubungan dengan rasa, sedangkan warna daun berhubungan dengan penglihatan. Lebih enak kalau ditulis "udara hangat musim panas tergantikan hembusan angin yang mulai membuatku menggigil jika keluar hanya mengenakan selapis baju" atau "Hamparan warna hijau mulai tergantikan dengan warna kuning kecokelatan, cokelat, bahkan merah tua yang paling terlihat dari berubahnya warna daun pohon maple."
Lalu ada juga ini:
Suasana di pemakaman begitu hening. Bahkan, aku bisa mendengarkan high heels hitam yang kukenakan berdentum keras, bergesekan dengan tanah pemakaman.
Gimana cara high heels berdentum ketika bergesekan.. dengan tanah pula? Pernah mendengar suara dentuman sepatu di tanah? Lagian sih, aneh amat jadi orang. Mau ke tanah kok ya pakai high heels? Nggak ngeri kejeblos?
Buat saya, bagian Cat terasa seperti copy dari bagian Al baik dari segi narasi maupun karakterisasi, sehingga karakter Cat terasa berbeda dari yang diceritakan oleh Al. Karakter Cat yang sangat mandiri, berpendirian kuat, dan berani justru tidak terasa. Selain itu, di bagian Cat, cerita berubah menjadi seperti film laga di mana Julian sepertinya bisa tiba-tiba muncul di saat yang tepat. Ugh!
Ada lagi hal yang mengganggu, yaitu selipan-selipan bahasa Inggris yang saya tidak tahu apa gunanya. Apakah untuk mendukung penggambaran suasana di Amerika? Masalahnya, semua tokoh di novel ini berbicara dalam bahasa Inggris (seharusnya) dan seakan-akan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buat apa ditulis dengan bahasa gado-gado? Kecuali kalau tokohnya orang Indonesia dan memang mengucapkan kalimat campuran Inggris-Indonesia, baru lain cerita.
Yah, itulah review saya akan Gagasduet ini. Jadi terkesan marah-marah walau sebenarnya tidak juga. Kecewa iya siiih, karena udah bela-belain beli dan berekspektasi tinggi, eh ceritanya nggak sesuai selera. Tapi perlu diingat juga, buku ini terbit di tahun 2012, ada waktu 3 tahun sampai saat ini di mana pengarang pasti sudah berkembang. Karya terakhir Winna Efendi yang saya baca, Happily Ever After, jelas lebih bagus dari ini. Dan karya Yoana Dianika, semoga saya bisa segera membacanya. Semoga kalau sampai pengarangnya baca, alih-alih tersinggung bisa mengambil masukan dari review ini :)
No comments:
Post a Comment
What is your thought?