Sunday, June 1, 2014

Memori

Pengarang: Windry Ramadhina
Penerbit: Gagasmedia
Tahun terbit: 2012
Halaman: 301

Mahoni adalah seorang arsitek idealis pecinta Frank O. Gehry yang sudah empat tahun bermukim di Virginia, Amerika Serikat. Ia pindah ke Amerika Serikat meninggalkan banyak persoalan di negara asalnya, Indonesia. Suatu hari, sebuah telepon mengharuskannya kembali ke tanah airnya itu sekaligus menghadapi masa lalunya.

Maaf, Mahoni. Kabar duka.
Aku diberi tahu bahwa tidak berapa lama yang lalu, Papa dan Grace mengalami kecelakaan. Di tengah hujan lebat negeri tropis yang butir-butir airnya sebesar biji jagung, mobil mereka terglincir ketika melintasi jalan tol penghubung Jakarta-Bandung. Mereka terbawa keluar jalur melanggar pagar beton pembatas jalan yang berada di sisi kiri mereka, lalu jatuh sedalam delapan meter.
Ayah Mahoni beserta ibu tirinya meninggal dunia.

Di Jakarta, Mahoni dihadapkan pada kenyataan pahit lain: ia harus tinggal di Jakarta bersama adik tirinya, Sigi, yang masih SMA, karena tidak ada anggota keluarga lain yang bisa menjaga Sigi. Mahoni sebenarnya tidak ingin berurusan dengan Sigi, yang adalah anak Grace, orang yang selama ini dibenci Mahoni. Mae, ibu Mahoni, selalu membenci Grace dan memastikan bahwa rasa benci itu juga merasuk ke dalam diri Mahoni. Namun, Mahoni tidak memiliki pilihan lain. Ia terpaksa mengorbankan pekerjaannya di Virginia demi Sigi, adik yang bahkan tidak ingin diakuinya sebagai adik.

Gambar itu, sketsa pradesain restoran dalam guratan tanpa putus yang spontan, dibuat di atas selembar kertas putih kekuningan menggunakan pensil warna tanah liat. Itu konte sanguine, aku kenal betul. Warna cokelatnya yang kemerahan teramat khas, tidak ada pensil lain yang memiliki warna serupa. Dan, gaya sketsa yang luar biasa intuitif itu mengingatkan aku kepada seseorang, seseorang yang selalu menggambar dengan konte sanguine.

Sebuah restoran mempertemukan Mahoni dengan orang lain dari masa lalunya: Simon Marganda, si arsitek pendesain restoran. Melalui Sofia, rekan Simon, Mahoni pun diajak bergabung untuk bekerja bersama Simon dan Sofia di MOSS, studio milik mereka berdua. Mahoni, yang mengetahui kegeniusan Simon, tidak melewatkan kesempatan ini. Lagi pula toh ia tidak punya pekerjaan di Jakarta.

Bekerja bersama Simon menantang kreativitas Mahoni dan juga idealismenya. Simon dan Mahoni sama-sama keras dan sama-sama berbakat. Namun, bukan hanya itu, kebersamaannya dengan Simon juga menghadirkan kembali kisah masa lalu yang pernah terjalin antara Simon dan Mahoni. Sayang, kini Simon telah bersama Sofia. Selain itu, masalah keluarga juga semakin membelit Mahoni. Ibunya, Mae, datang dan marah besar ketika mengetahui Mahoni kini tinggal bersama anak dari Grace, perempuan yang paling dibencinya.

Apakah kembali ke Jakarta adalah suatu kesalahan bagi Mahoni?

Memori adalah sebuah kisah yang unik. Sebenarnya, dari segi jalan cerita dan pesan moral sih, Memori tidak menghadirkan sesuatu yang baru. Tema mengenai orang yang kembali ke kampung halaman untuk menghadapi masa lalu yang selama ini dihindari sudah sering diangkat menjadi cerita. Salah satu buku yang memiliki ide cerita mirip yang saya ingat pernah saya baca dan review adalah Falling Home-nya Karen White, yang di review saya itu sempat juga saya bilang mirip dengan film-film televisi di channel Diva Universal. Namun demikian, ada sesuatu yang membuat Memori berbeda dari novel-novel dan film-film televisi bertema mirip: pendekatan yang digunakan dalam menyampaikan cerita.

Dalam Memori, Windry Ramadhina tidak sekedar menulis cerita. Ia juga membawa kecintaannya akan dunia arsitek dan meramunya sedemikian rupa sehingga menghasilkan cerita yang indah. Mahoni bekerja sebagai arsitek. Selain itu, ayah dan adiknya juga memiliki kecintaan yang mirip, walau sang ayah dan adik lebih ke desain furniture mungkin yaa..  Keseharian Mahoni yang lebih banyak berkutat dengan arsitektur, pertemuan dengan klien, dan juga perdebatannya dengan Simon (masih tentang pekerjaan juga) sebenarnya bisa jatuh membosankan kalau saja tidak ditulis dengan baik dan porsi yang seimbang. Nah, di sini terlihat kehebatan Windry. Semua keseharian Mahoni itu justru menyatu dengan plot utama, dan turut menunjukkan perkembangan kepribadian Mahoni seiring berjalannya cerita. Lewat apa yang Mahoni lihat dan kerjakan, muncul satu per satu kenangan akan masa lalu: tentang ayahnya dan tentang Simon. Dan pada akhirnya, lewat pekerjaannya itulah Mahoni akhirnya berhasil mendapatkan penyelesaian atas masalahnya.

Selain itu, hal ini memang sudah terlihat dari beberapa novel Windry yang saya baca sebelumnya, penokohan yang kuat juga menjadi nilai tambah untuk novel ini. Karakter Mahoni yang individualis dan idealis; Simon yang misterius dan memiliki jalan pikiran tak tertebak; dan Sigi, si adik yang pendiam namun sangat memperhatikan kakaknya. Ketiga tokoh ini adalah yang terkuat, dan interaksi ketiganya buat saya sangat melengkapi satu sama lain. Simon yang keras menantang Mahoni untuk mengeksplor kreativitasnya sementara Sigi justru melembutkan Mahoni lewat perhatiannya yang tulus. Selain itu, tokoh-tokoh pendukung yang lain juga melengkapi cerita. Bisa dibilang, tidak ada tokoh yang muncul sia-sia di novel ini.

Kalaupun ada yang terasa sedikit memberatkan, buat saya adalah penggunaan istilah-istilah dan nama-nama berbau arsitektur di novel ini. Misalnya nih, soal umpatan Mahoni "demi Guggenheim!" yang terucap berkali-kali. Buat para arsitek mungkin sudah mafhum ya siapa Frank O. Gehry yang merancang museum Guggenheim tersebut dan betapa sosoknya sudah seperti "dewa" arsitek. Namun untuk saya, membaca "demi Guggenheim" berkali-kali malah mengingatkan saya akan tentara-tentara Romawi di komik Asterix & Obelix yang suka berteriak "Demi Jupiter!" dan demi dewa-dewa lainnya :) Selain itu, ada beberapa istilah yang saya harap ada footnote-nya, sehingga saya lebih mudah membayangkannya ketimbang harus buka google dulu. 

Selain itu, Sigi yang menggunakan kata-kata non-formal sendirian di novel ini pun terasa sedikit janggal, karena tokoh-tokoh lain selalu berbahasa Indonesia formal. Dan ketika ucapan Sigi yang non-formal itu dibalas dengan formal oleh Mahoni, rasanya jadi kurang pas.

Namun mengesampingkan dua hal di atas, saya tetap merasa Memori adalah sebuah karya yang indah yang sungguh sayang untuk dilewatkan. Mumpung masih banyak tersedia di toko buku, tidak ada salahnya jika teman-teman membeli buku ini dan membacanya.

1 comment:

What is your thought?